Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.
Kisah Dewa Ruci mulai digubah pada abad ke-18 M berdasarkan teks abad ke-16 M Serat Syekh Malaya karangan Sunan Kalijaga.
Cerita dimulai dengan peristiwa pertemuan Bima dan Drona menjelang perang Kurawa Pandawa meletus. Drona memerintahkan Bima mencari air hayat (air suci Prawitasari). Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.
Dalam Serat Cabolek, bagian awal kisah tidak diceritakan. Kisah langsung dimulai dengan penyelaman Bima ke dalam lautan untuk mencari air hayat, suatu episode yang memang paling penting dalam kerangka suluk Dewa Ruci.
Di dalam lautan dia berjumpa ular naga besar dan ganas menghalangi perjalanannya. Ular adalah simbol dari kejahatan. Melalui pertarungan yang dahsyat, Bima dapat mengalahkan ular naga itu. Kemudian dia berjumpa dengan Dewa Ruci, manusia bertubuh kecil, yang rupanya mirip dengan dirinya, bermain-main seperti boneka bergerak-gerak. Dima mendapat pelajaran bahwa air hayat itu tidak lain ialah persatuan mistis dengan Yang Maha Tunggal (manunggaling kawula Gusti). Cara mencapainya dengan menjalani disiplin keruhanian yang keras, termasuk menundukkan hawa nafsu dan menycui dirinya. Bila itu dicapai ia akan mendapatkan hidup yang kekal di dalam Yang Maha Esa (baqa’). Dalam teks SC pencapaian ruhani (maqam) ini disebut “Weruh sangkan paraning dumadi” (mengetahui asal-usul dan tujuan segala kejadian).
Dewa Ruci lantas menyuruh Bima masuk melalui telinga. Sesampainya dalam perut Dewa Ruci ia menyaksikan lautan luas tak terhingga bentangan ufuknya. Sesudah itu tiba-tiba telah berada di hadapan Dewa Ruci. Bima diminta agar memusatkan perhatian ke arah depan. Ia lantas menyaksikan empat warna, tetapi dengan cepat lenyap dari pandangan. Empat warna itu ialah hitam, merah, kuning, putih. Tiga yang pertama merupakan bagian dari badan jasmani dan penyebab rusaknya kalbu atau hati. Yang satu lagi (putih) mendatangkan kebaikan. Agar mencapai persatuan dengan Yang Gaib, seseorang harus membebaskan diri dari yang tiga. Sebab ketiganya merintangi pikiran dan kemauan orang yang ingin fana’ atau hapus dalam Suksma Sejati
Setelah warna yang empat lenyap, lantas muncul Cahaya Tunggal delapan warna. Sang Guru kemudian menerangkan tentang cahaya gemerlapan itu yang disebut pramana. Pramana adalah pemberi hidup kepada tubuh jasman. Jika ia meninggalkan badan, maka badan tidak berdaya lagi. Pramana memperoleh hidup dari Sang Suksma atau Ruh Tertinggi, yaitu Dia Yang Maha Hidup dan pemberi hidup. Kemudian Dewa Ruci menjelaskan bahwa pramana merupakan tajalli (pancaran) dari Yang Satu. Ia tidak menyerupai apa pun dan sukar digambarkan. Pada awalnya pramana itu satu dengan Sang Pencipta, tetapi setelah diberi rupa cahaya maka ia menjadi terpisah dari asal-usulnya.
Mendengar hal itu Bima semakin ingin mengetahui rahasianya. Ia malahan berkeinginan tinggal di tempat sunyi itu selamanya. Tetapi Dewa Ruci tak mengizinkan. Sebagai gantinya Dewa Ruci memberi pelajaran tentang rahasia Yang Hakiki, dan cara mencapai persatuan dengan-Nya.
Setelah kita mengetahui isi cerita Dewa Ruci, kita akan mengerti mengapa para sarjana sependapat mengatakan bahwa suluk ini merupakan lakon yang tidak hanya membicarakan hubungan manusia dengan Tuhan, alam semesta, dan dirinya. Tetapi juga membicarakan tujuan hidup manusia yang sebenarnya, dan cara mencapai tujuan itu. Tujuan yang ingin dicapai manusia Jawa ialah pamoring kawula gusti, karena Tuhan itu merupakan sangkan paraning dumadi. Dengan itu manusia itu akan mencapai kebahagiaan.
Setelah kita mengetahui isi cerita Dewa Ruci, kita akan mengerti mengapa para sarjana sependapat mengatakan bahwa suluk ini merupakan lakon yang tidak hanya membicarakan hubungan manusia dengan Tuhan, alam semesta, dan dirinya. Tetapi juga membicarakan tujuan hidup manusia yang sebenarnya, dan cara mencapai tujuan itu. Tujuan yang ingin dicapai manusia Jawa ialah pamoring kawula gusti, karena Tuhan itu merupakan sangkan paraning dumadi. Dengan itu manusia itu akan mencapai kebahagiaan.
Simbol-simbol ini secara berurutan berkaitan dengan psikologi, kosmologi, dan ontologi sufi. Juga dengan peringkat-peringkat keruhanian (maqam) dan keadaan ruhani (ahwal) yang dialami seorang ahli suluk dalam upayanya mencapai Yang Satu. Image-image atau citraan-citraan itu selain purbani juga universal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar